Oleh Ustadz Imam Wahyudi Lc
Islam adalah anugerah yang
tiada tara. Satu-satunya agama yang diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla di dunia
dan akherat . Perbuatan seseorang akan diakui bila ia telah memeluk Islam.
Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi [Ali-‘Imrân/3: 85] Dan sebaliknya, agama selain Islam
merupakan penghalang diterimanya perbuatan baik seseorang, bahkan perbuatan
baik tersebut akan sia-sia dan sirna di sisi Allah Azza wa Jalla kelak. Allâh
Azza wa Jalla berfirman: وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا
جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu pun
[an-Nûr/24:39] Juga firman-Nya: وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan [al-Furqân/25:23] Suatu ketika ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullâh
tentang seorang dermawan yang hidup di zaman Jahiliyyah yang bernama Ibnu
Jud’ân. Dia sangat gemar menyambung tali silaturahmi dan memberi makan kaum
miskin, apakah kebaikan tersebut akan bermanfaat baginya? Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: لاَ يَا
عَائِشَةُ ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا : رَبِّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ
يَوْمَ الدِّينِ Tidak wahai ‘Aisyah, karena dia tidak pernah sekalipun
mengatakan: Rabb-ku ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari kiamat kelak [HR.
Muslim] Nikmat ini harus selalu senantiasa disyukuri, dengan senantiasa
menjaganya agar tetap menetap kuat dalam jiwa dan dan mengisi hidup dengan
beramal saleh sebanyak mungkin, agar semakin bertambah dan kokoh, serta jangan
sampai berkurang apalagi sirna dari diri kita, alias murtad. Na’ûdzubillah min
dzâlik. Semangat ini hendaknya terus kita pupuk, diantaranya dengan memahami
resiko yang bakal ditanggung oleh seorang murtad, keluar dari Islam. Untuk itu,
marilah kita simak uraian berikut ini. Semoga bermanfaat. 1.DEFINISI MURTAD
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ)
yang bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat, orang
murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, tanpa ada
paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah dan memilih perkara, antara
yang baik dari yang buruk-pen.) serta berakal sehat. Seorang yang menyatakan
kekufuran karena terpaksa, tidak dikategorikan sebagai orang murtad,
sebagaimana yang terjadi pada diri Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
’Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau
mengingkari kenabian Rasûlullâh dan mencela Islam. Akhirnya terpaksa menuruti
mereka, padahal hatinya tetap yakin akan kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah
dibebaskan, dengan menangis dia mendatangi Rasulullah seraya menceritakan
peristiwa tersebut, dan ternyata Rasûlullâh memaafkannya. Kemudian turunlah
firman Allâh Azza wa Jalla : مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ
مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ Barang siapa yang kafir kepada Allâh
sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa
kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh
menimpanya dan baginya adzab yang besar [an-Nahl/16:106] 2. SANKSI-SANKSI MORAL
BAGI ORANG MURTAD Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan
pada dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah
fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang
begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi,
anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun
kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar
akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan
pernah melakukan tindakan bodoh tersebut. Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha)
telah membahas konsekuensi hukum yang berlaku pada orang Islam yang pindah
agama dalam buku-bukum fiqih mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini
konsekuensi buruk dari perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang
diridhai Allâh Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang
nasrani atau pemeluk agama lainnya. a. Amal Ibadahnya Terhapus Banyaknya ibadah
yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi pelakunya, bahkan
berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila di kemudian hari dia
kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat kembalinya adalah neraka kekal
abadi di dalamnya, jika mati dalam kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ
كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ
وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ Barangsiapa diantara
kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya [al-Baqarah/2:217] b. Haknya Sebagai
Seorang Muslim Sirna Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ
السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ
الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan
oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang
sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin [HR.
al-Bukhâri dan Muslim] Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang Muslim tidak
wajib menjawab lontaran salam dari orang yang murtad dari Islam, tidak perlu
menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati dan mengiringi jenazahnya
bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya, dan tidak boleh mendoakannnya
ketika si murtad bersin. c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah
Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum Islam melarang umatnya
menikah dengan non-muslim secara umum, serta merupakan syarat sah suatu
pernikahan Islami adalah kedua mempelai beragama Islam – kecuali dengan wanita
Ahli Kitab dengan persyaratan yang ketat – . Adapun pernikahan seorang Muslim
dengan seorang wanita musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah.
Wanita Muslimah pun tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki
yang berstatus murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim)
dengan orang yang murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal
secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman : وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran
[Al-Baqarah/2:221] Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman: ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka
janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu
tidak halal pula bagi mereka [al-Mumtahanah/60:10] Dengan demikian, dalam Islam
tidak halal lagi bagi pasangan yang salah satunya telah murtad untuk melakukan
hubungan layaknya suami isteri. d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Seorang wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang wali
untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan tetapi,
misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan anak atau
kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain
[at-Taubah/9:71] Allâh Azza wa Jalla juga berfirman: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ
أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi
pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim [al-Mâ’idah/5:51]
Hal ini dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang
sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki yang
adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali
dan dua orang saksi yang adil [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang
shahih] Pengertian orang adil di sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan
tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang telah
murtad dari Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam
pernikahan. e. Tidak Mewarisi Dan Tidak Diwarisi Hartanya Apabila seorang bapak
meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk orang yang mati dalam keadaan
murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang beragama Islam tidak boleh mewarisi
harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa harta
orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum Muslimin dan
digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ،
وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi
(harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang
Muslim [Muttafaqun’alaih] Pada kasus yang lain, apabila seorang bapak yang
beragama Islam meninggal dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya
ada yang non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian
dari harta ayahnya. f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak
Boleh Didoakan Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia
tidak boleh dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا
وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan
Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik [al-Taubah/9:84] g. Jika Mati,
Tida Boleh Dimakamkan Di Pemakaman Muslimin Sejak zaman Nabi, kaum Muslimin
berinteraksi dan hidup berdampingan dengan orang-orang non-Muslim. Namun dalam
masalah pemakaman, beliau memisahkan lokasi pemakaman kaum Muslimin dengan
orang-orang kafir, sebagaimana dalam sebuah riwayat sahabat Ibnul Khashâshiyah
menceritakan: Suatu ketika Rasûlullâh mendatangi pemakaman kaum Muslimin seraya
mengatakan, “Mereka telah memperoleh kebaikan yang banyak”. Beliau
mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau mendatangi pemakaman kaum musyrikin
seraya mengatakan, “Mereka telah melewatkan kebaikan yang banyak”. Beliau
mengatakannya tiga kali. [HR. Abu Dâwud, an-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dengan sanad
yang shahih. Dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâmul al-Janâ’iz] h. Jika Mati Dalam
Keadaan Murtad, Tidak Boleh Dimintakan Ampunan Baginya Betapapun cinta kita
terhadap orang lain, tapi apabila dia meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam,
maka kita tidak diperkenankan memintakan ampunan atas dosa-dosanya, sebagaimana
teguran Allâh Azza wa Jallaepada Nabi-Nya dalam firman-Nya: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
Jahanam [at-Taubah/9:113] i. Kaum Muslimin Memberikan Berita Buruk Ketika Melewati
Kuburnya Islam mengajarkan kepada untuk tidak memberi salam dan tidak mendoakan
kebaikan ketika melewati makam orang kafir. Bahkan kita diperintahkan untuk
mengabarkan kepadanya tentang neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ
فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ Dimanapun anda melewati makam orang kafir,
maka beritakanlah kepadanya tentang neraka. [HR. Ibnu Mâjah, at-Thabrâni dalam
al-Mu’jam al-Kabiir] j. Sembelihannya Haram Bagi Kaum Muslimin Islam melarang
segala sembelihan yang tidak disebutkan nama Allâh Azza wa Jalla di dalamnya,
termasuk sembelihan kaum musyrikin maupun seorang ateis, terkecuali Ahli Kitab.
Allâh Azza wa Jalla berfirman: الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagi
kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka [al-Mâ’idah/5:5] k. Persaksiannya
Ditolak Telah kita ketahui bahwa sifat adil yang dimaksud adalah jauhnya
seseorang dari perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa
kecil. Dari sini, orang yang murtad lebih tidak berhak lagi orang murtad,
sehingga dia tidak boleh menjadi saksi dalam peradilan Islam, dan juga dalam
pernikahan seorang Muslim, sebagaimana perintah Allâh Azza wa Jalla : وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kalian, dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
[ath-Thalâq/65:2] Maksudnya, dari kalangan kaum Muslimin, bukan yang lain. l.
Tidak Boleh Memasuki Tanah Suci (Tanah Haram) Tanah suci atau tanah haram
memiliki kehormatan yang tidak boleh direndahkan dan dilanggar, di antara tidak
boleh seorang kafir pun memasukinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : لاَ يَدْخُلُ مَكَّةَ مُشْرِكٌ بَعْدَ
عَامِنَا هَذَا أَبَدًا Tidak boleh seorang musyrik pun memasuki
kota Mekah setelah tahun ini selamanya [HR. al-Bukhâri] 3. HUKUM PIDANA BAGI
ORANG MURTAD Apabila seseorang murtad dengan berpindah ke agama lain atau memilih
untuk menjadi seorang ateis, langkah yang ditempuh adalah mendakwahinya untuk
kembali ke pangkuan Islam dalam tempo tiga hari. Jika tetap dalam
kemurtadannya, maka ia dihukum bunuh. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh
dia [HR. al-Bukhâri] Permasalahan jangka waktu penyadaran melalui dakwah agar
ia bertaubat selama tiga hari, kami belum menemukan dalil yang kuat untuk dijadikan
pijakan, kecuali dalil logika yang dikemukakan oleh sebagian ulama, bahwa
kemurtadan mayoritasnya disebabkan kerancuan pikiran dan syubhat dalam diri
orang tersebut, sehingga diharapkan dengan dakwah khusus secara personal
kepadanya, kerancuan dan syubhat tersebut bisa dihilangkan dari pikirannya,
sehingga mau dengan sukarela kembali ke pangkuan Islam. Wallâhu a’lam. . 4.
KESIMPULAN Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di
akhirat, sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak
terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang Muslim
bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang rela
menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi keluarganya yang
murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semoga kita
dijauhkan dari bencana seperti ini dan diwafatkan dalam keadaan memegangi
akidah Islamiyyah, sehingga kelak dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin
DAFTAR PUSTAKA a.’Uqûbâtuz Zâni wal Murtad wa Daf’isy Syubuhât fî Dhauil Kitâb
was Sunnnah, ‘Imâd al-Sayyid Muhammad Ismâ’il asy-Syarbini b. Kifâyatul Akhyâr,
Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi c. Minhâjul Muslim, Abu
Bakr Jâbir al-Jazâiri d. Al-Wajîz fîi Fiqhis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz, ‘Abdul
‘Azhîm al-Badawi e. Al-Tahqîiqâtul Mardhiyyah fii al-Mabâhits al-Fardhiyyah,
Shaleh Fauzân al-Fauzân f. Ahkâmul Janâiz, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Referensi:
https://almanhaj.or.id/3580-resiko-murtad.html