Seumur dunia ini ada, dunia bisa menyaksikan bahwa kaum Muslim adalah contoh terbaik bila itu berurusan dengan urusan toleransi. Tidak hanya soal agama, tapi juga soal manusia.
Islam memberi batas
jelas, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Silakan beribadah, aku pun beribadah,
kita saudara sebagai manusia. Aku tak memaksamu sesuai ibadahku, jadi kamu juga
tak memaksaku.
Terlebih lagi, Islam
melihat menausia itu mulia, apa pun agamanya, etnis, suku, atau apa pun. Tak
hanya yang hidup, bahkan jenazah manusia pun dimuliakan dan dihormati.
Jadi apa pasal muslim
Indonesia dituduh intoleran? Sebabnya sederhana, yaitu kaum muslim mau hidup
dan melakukan praktik agama mereka, itu saja.
Islam mengharuskan
pemimpin muslim, dituduh intoleran, sebab Muslim mayoritas, dan kalau begitu
yang non-Muslim tak kan bisa jadi pemimpin, itu sebabnya.
Islam mengharuskan
kenakan jilbab dan khimar, dibilang intoleran, sebab yang tak kenakan penutup
aurat merasa tak nyaman, itu sebabnya.
Sebaliknya yang
Nasrani berhari raya Natal, saling berbagi selamat hari raya, lalu Muslim yang
tak ingin ikut-ikutan dikatakan intoleran, jadi sangat aneh sekali.
Singkatnya, orang
Muslim dibilang intoleran karena:
- Menjalankan agamanya dengan taat, dan
- Tidak mau ikut-ikutan ibadah agama orang lain.
Jadi makna
intoleransi saat ini bagi pendukung toleransi disepakati: karena aku minum teh,
dan kamu minum kopi , berarti kamu intoleran kepadaku.
Jadi kalau aku mau
taat, dan kamu mau taat, taatmu itu intoleransi bagiku. Bagus.
Begitulah yang kita
lihat di Minahasa Utara, tak semua orang, hanya sebagian, tapi jadi pelajaran
bahwa siapa yang teriak-teriak toleransi, bisa begitu intoleran terhadap orang
lain.
Kalau mereka sedikit,
mereka teriak intoleran, kalau meraka banyak, mereka menekan atas nama
demokrasi. Basi.
Indonesia mayoritas
Muslim, tapi libur di hari ibadah yang bukan Muslim, memutar lagu dan film
natal saat Desember, Imlek saat waktunya. Di Bali, bahkan adzan tak boleh saat
Nyepi. Di mana lagi yang se-toleran di Indonesia?
Di Amerika ada
pemutaran salawat dan qiro’ah saat Ramadhan? Atau ada libur lebaran di China?
Atau libur Jum’at buat karyawan Muslim di Korea? Mikir.
Harusnya penguasa,
mulai dari Presiden, Menkopolhukam, Menag, Menhan, yang diamanahkan memberantas
radikalisme, ekstrimisme dan intoleran, sadar dengan peristiwa pengrusakan
musala di Minut ini. Bahwa bila mereka senantiasa mencurigai kaum Muslim, maka kerja
mereka hanya fatamorgana.
(Penulis: Felix Siauw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar